RINCIH.COM. Faren, Tech & Startup Strategist menjelaskan, alasan runtuhnya startup healthtech di Indinesia bukan karena timnya lemah, bukan karena teknologinya jelek. Dan bukan karena idenya tidak dibutuhkan.
“Kami gagal karena satu hal yang jarang dibahas secara jujur: Healthtech itu bukan soal teknologi. Tapi soal kekuasaan,” jelasnya dalam LinkedIn, Rabu (30/4/2025).
Sebagai contoh, dua raksasa healthtech Indonesia: Halodoc dan Alodokter. “Keduanya punya resource besar, user base kuat, bahkan pendanaan besar. Tapi tetap… struggling,” ungkapnya.
Kenapa? Karena mereka mencoba masuk ke sistem yang sudah dikunci rapat. Menurutnya, struktur ekosistem kesehatan dalam bentuk segitiga:
Pasien di atas, tapi tidak punya kuasa. Di bawahnya: Fasyankes rumah sakit & klinik, mengatur obat & tindakan. Dokter mengatur diagnosis & resep. Sedangkan, pabrikan & distributor mengatur pasokan dan pengadaan
“Semua terhubung erat dengan satu lagi lapisan kuat yaitu regulasi,” katanya.
Faren menambahkan, industri kesehatan di Indonesia sangat diatur ketat oleh Kemenkes, BPOM, bahkan asosiasi profesi seperti IDI dan IAI. Semuanya punya aturan dan protokol sendiri yang sangat rigid.
“Startup tech yang terbiasa bergerak cepat dan agile, tiba-tiba seperti masuk hutan birokrasi yang tak ada ujungnya,” katanya.
Berikut 5 pelajaran terbesar yang bisa dipelajari dari lapangan:
- Ekosistem terlalu tertutup dan hierarkis.
Pasien terlihat di atas, tapi semua keputusan dikendalikan dari bawah oleh dokter dan fasyankes. - Aliansi pemain lama terlalu kuat.
Dokter, RS, pabrik obat, dan distributor terhubung lewat asosiasi dan jalur distribusi yang sudah solid puluhan tahun. - Startup datang sendirian, tanpa koalisi.
Produk bagus tidak cukup. Tanpa dukungan atau “izin masuk”, semua akses bisa ditutup. - Model ‘disruption’ tidak relevan di sektor ini.
Healthtech bukan soal membakar pasar. Tapi integrasi pelan-pelan ke sistem lama. - Pasien tidak punya bargaining power.
Ini bukan e-commerce. Pasien tidak bisa dengan mudah “cari alternatif”. Semuanya harus lewat sistem.
“Jadi, kalau kamu bertanya kenapa banyak healthtech megap-megap, bukan karena mereka kurang pintar. Tapi karena mereka melawan sistem yang tidak ingin berubah dan dilindungi oleh regulasi yang sangat kompleks,” jelasnya. (Septiadi)