RINCIH.COM. Akhir pekan ini saya mengantar keluarga ke sebuah pusat perbelanjaan besar di pinggiran kota. Parkiran penuh. Lobi padat. Anak-anak bermain riang di area publik. Suara tawa, langkah kaki, dan lampu yang berkilau membuat mal itu terasa seperti pusat semesta.
Tapi ada satu hal yang janggal di dalam toko-toko dan tenan, para penjaga berdiri tegak bak patung, berharap ada pengunjung yang masuk, melihat-lihat, lalu membeli. Namun sebagian besar hanya lewat. Ada yang masuk, pegang-pegang barang, lalu pergi dengan senyum kecut dan langkah cepat.
Itulah mereka: Rojali rombongan jarang beli. Mereka bukan pengamat ekonomi, bukan pula warga yang anti-kapitalis. Mereka hanyalah simbol dari satu hal: kebutuhan rekreasi yang tak berbanding lurus dengan daya beli.
Mereka mencari tempat yang luas, agar anak-anak bisa lari-larian. Tempat sejuk, karena rumah kontrakan tak sanggup lawan panas. Bersih, karena jalanan berdebu tak ramah stroller. Dekat, agar ongkos transport tak bikin dompet sesak. Aman, dengan penjagaan yang memadai, bahkan bisa jadi track jalan kaki yang disertai toilet bagus dan tentu saja: gratis.
Mal, dengan segala kemewahannya, tanpa disadari telah berubah fungsi. la tak lagi sekadar tempat belanja. la adalah taman kota versi indoor. Ruang publik tanpa pungutan. Tempat rekreasi keluarga kelas menengah yang kehilangan pegangan ekonomi.
Rojali bukan mitos. la adalah cerminan realitas.
Ekonomi boleh tumbuh, tapi daya beli stagnan. Harga kebutuhan pokok naik, sementara gaji naiknya malu-malu. Belanja bukan prioritas, menunda kebutuhan menjadi keterampilan baru. Maka tenan demi tenan menggulung etalase, digantikan dengan coffee shop diskonan atau playground berbayar murah.
Banyak pemilik brand kini sadar, bahwa pengunjung mal bukan lagi calon pembeli, melainkan viewers di dunia nyata. Mereka masuk bukan untuk transaksi, tapi untuk mencari udara segar, Wi-Fi gratis, dan konten Instagram.
Fenomena ini mestinya membuat kita merenung: Apakah benar kita sedang baik-baik saja secara ekonomi, atau kita sedang tersesat dalam ilusi pertumbuhan?.
Jika mal yang ramai ternyata tidak menjamin omzet para tenant, maka yang sedang ramai bukanlah konsumsi tapi kerinduan akan hidup yang sedikit lebih layak.
Rojali tak bisa disalahkan. Mereka hanya sedang bertahan di tengah himpitan. Mereka datang bukan membawa uang, tapi membawa harapan: bahwa rekreasi masih mungkin, meski tanpa belanja.
Ketika kita melihat mal penuh sesak, jangan langsung senang. Bisa jadi itu bukan tanda ekonomi menggeliat, melainkan sinyal bahwa rakyat sedang mengeluh diam-diam. (Wahyudi Adiprasetyo)