Ilustrasi penerimaan pajak. Foto: infobank

RINCIH.COM. Rencana pemerjntah untuk menaikkan tarif pajak penambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen, yang sebelimnya 11 persen, menjadi perdebatan. Berbagai kalangan menolak kebijakan tarit pajak pertambahan nilai (PPN) 12% yang sedianya berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang. Kebijakan ini, dikhawatirkan semakin menekan daya beli masyarakat yang kini tengah menurun.

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menjelaskan, pemerintah masih punya waktu untuk menunda maupun membatalkan kebijakan tersebut. Bhima menyebut, ada tiga opsi yang bisa ditempuh pemerintah terkait hal itu.

Pertama, segera membahas revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) di DPR. Kedua, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Ketiga, melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) jika tidak mau merevisi UU.

Bhima menilai, opsi kedua paling memungkinkan ditempuh pemerintah. Mengingat kondisi saat ini, telah memenuhi unsur kegentingan untuk menerbitkan perppu.

“Sudah memenuhi unsur kegentingan karena daya beli kelas menengah sedang lesu dan mengancam perekonomian termasuk imbas ke pengurangan karyawan di sektor ritel, logistik dan industri pengolahan” tambah Bhima, Selasa (19/11), seperti di kutip Kontan, Rabu(20/11/2024).

Bhima mengingatkan bahwa waktu yang tersisa hanya tinggal beberapa minggu menjelang implementasi tarif PPN tersebut. Sebab itu, “(Upa pembatalan kebijakan tarif PPN 12%) sangat mendesak betul, tandasnya.

By Septiadi

Adalah seorang penulis, dengan pengalaman sebagai wartawan di beberapa Media Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *