RINCIH.COM. Berbelanja dulunya bersifat sosial-menjelajahi toko, berinteraksi dengan staf penjualan, berbagi pengalaman dengan teman-teman. Namun bagi 53% orang dewasa muda (18-24 tahun), belanja online telah menjadi hobi, aktivitas solo, menggantikan interaksi dunia nyata dengan layar dan algoritma.
Pada saat yang sama, generasi yang lebih tua (77% dari mereka yang berusia 55+) masih melihat berbelanja sebagai kebutuhan fungsional, tugas daripada kesenangan. Kesenjangan antar generasi semakin melebar, begitu pula keterputusan dalam cara kita mengkonsumsi.
Bahkan ketika 73% konsumen Jerman berencana untuk berbelanja lebih strategis dan 59% memprioritaskan kualitas daripada kuantitas, sisi emosional berbelanja berubah. Pembelian yang menghadiahkan diri sendiri sedang meningkat (43% di Jerman)-tetapi apakah itu karena orang benar-benar memperlakukan diri mereka sendiri, atau karena berbelanja mengisi kekosongan?.
Angka-angka tersebut menceritakan kisah yang lebih mencolok: orang Jerman sekarang membeli 10 barang setiap tiga bulan, menghabiskan €467, dua kali lipat rata-rata Eropa. Belanja menjadi lebih cepat, lebih individual, kurang komunal.
“Kami menjelajah sendiri, membeli sendiri, dan menerima paket di depan pintu kami-sendirian,” ungkap Dominique Pierre Locher, kemarin.
Apa artinya ini bagi masa depan ritel?
Pengecer harus memikirkan kembali bagaimana menciptakan kembali pengalaman sosial di dunia digital. Detasemen emosional yang tumbuh dari berbelanja dapat membentuk kembali loyalitas merek. Munculnya risiko konsumsi yang digerakkan oleh algoritma membuat belanja semakin terisolasi.
“Kenyamanan digital yang kita rayakan hari ini bisa menjadi pemutusan sosial yang kita sesali besok,” katanya.