Minuman Berpemanis Dalam Kemasa. Foto: ist

RINCIH.COM. Tahun 2024, Pemerintah mulai melaksanakan kebijakan pengenaan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) yang dinilai akan efektif dalam menurunkan konsumsi masyarakat terhadap gula, serta menekan biaya penanganan penyakit akibat konsumsi gula berlebih. Pengenaan cukai ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai.

Tentunya pengenaan cukai ini berkaitan dengan harga yang dibebankan ke konsumen. Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Putu Juli Ardika yang menyebutkan pnerapan cukai minuman berpemanis sebesar Rp1.771/liter akan  berpotensi menggerek harga produk sekitar 6%-15%.

Sementara, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengatakan penerapan cukai untuk produk  MBDK akan berdampak pada kenaikan harga produk hingga 30%. Kenaikan tersebut berbeda dari kisaran harga yang disampaikan Kemenperin.

“Lebih (lebih dari 6-15%) kalo Rp1.700-an per liter (pajaknya), berarti kalau minuman 350 ml (mililiter), ini biasanya yang paling banyak (produk paling banyak dipasaran) berarti, Rp1.700 (pajak) dibagi 3, berarti sekitar (pajak) Rp600-an per botol,” ungkap Adhi seperti dilansir Kontan, Senin (19/08).

Adhi menambahkan, pajak sebesar Rp600-an per botol adalah perhitungan kasar untuk kenaikan harga dari pabrik, bukan harga yang akan dibebankan pada konsumen. Sedangkan kenaikan harga jika sudah sampai ke konsumen bisa membengkak. 

Kenaikan harga di pabrik bisa sekitar 20%, tetapi ketika sampai pada konsumen akhir kenaikannya bisa mencapai 30%. Misalnya harga produk per botol di pabrik Rp 3.000,-, ketika sampai ke konsumen menjadi Rp 5.000,-. Jumlah itu masih belum ditambah PPN sekitar Rp 600,-.

“Ketika (pajak) Rp600 dari Rp3.000, artinya harga akan naik sebesar 20%, itu naiknya luar biasa. Kalau sampai ke konsumen akhir (naiknya) bisa sampai 30% lebih, sangat mahal sekali,” tambahnya.

Adhi menegaskan, kemungkinan naiknya harga akan sangat memberatkan konsumen apalagi ditengah pasar makan-minum yang saat ini sedang lesu. “Apakah konsumen sanggup akan menanggung ini? Saya tidak yakin konsumen sanggup menanggung ini, kondisinya yang tidak naik (harga) aja pasar agak lesu,” tegasnya.

Adhi menambahkan, dalam perhitungan industri mamin termasuk pangan olahan 1% kenaikan harga akan mempengaruhi penurunan pendapatan sekitar 1,7%. “Jadi kenaikan harga 1% akan menurunkan 1,7% penjualan. Berati kalau naik 20%  penjualannya bisa turun berapa? Itu kan luar biasa,” tambahya.

Pengenaan cukai ini akan memperburuk keadaan industri mamin. Ditambah lagi, GAPMMI belim pernah dilibatkan dalam penentuan besaran cukai tersebut. Sejauh ini, Adhi mengaku  pihaknya baru mengetahui mengenai besaran angka cukai minuman berpemanis dari RPABN saja. Asosiasi berharap pemerintah dapat segera memberikan alasan jelas mengenai latar belakang mengeluarkan cukai MBDK ini.

“Saya mau tau fungsi cukai ini apa, untuk mengatasi PTM (Penyakit Tidak Menular) atau untuk income negara, ini dua hal yang berbeda,” tutupnya. 

By Septiadi

Adalah seorang penulis, dengan pengalaman sebagai wartawan di beberapa Media Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *