RINCIH.COM. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menghantam berbagai sektor di Indonesia awal 2025 ini. Ribuan pekerja dari industri teknologi, manufaktur, hingga ritel kehilangan pekerjaan mereka. Fenomena ini bukan sekadar gejala siklus ekonomi, melainkan cerminan dari rapuhnya struktur ketenagakerjaan nasional yang perlu segera dibenahi.
Di sektor teknologi, startup yang sebelumnya tumbuh pesat kini tersandung gelombang “tech winter”. Minimnya pendanaan baru membuat banyak perusahaan rintisan seperti Ruangguru dan Zenius melakukan efisiensi besar-besaran. Seperti diketahui Ruangguru telah melakukan PHK sekitar 400 orang di akhir 2023. Sementara Zenius telah melakukan dua kali PHK besar pada 2022 dan 2023, total lebih dari 500 karyawan terdampak.
Meskipun transformasi digital menjadi agenda utama pemerintah, kelemahan pada model bisnis dan monetisasi menyebabkan sektor ini tetap rentan.
Ini mencerminkan penurunan investasi digital di Indonesia, dari US$ 3,2 miliar pada 2021 menjadi hanya US$ 1,3 miliar pada 2023 (sumber: DailySocial dan East Ventures Digital Competitiveness Index).
Industri padat karya seperti tekstil dan alas kaki juga tak luput. Industri tekstil dan garmen menyumbang lebih dari 60% kasus PHK sepanjang 2023. Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menunjukkan bahwa setidaknya 30 pabrik garmen di Jawa Barat dan Jawa.
Melemahnya permintaan ekspor dari pasar utama seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa memaksa pabrik-pabrik di Jawa Barat dan Jawa Tengah mengurangi kapasitas produksi-dan akhirnya, mem-PHK pekerja dalam jumlah besar. Menurut data Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), lebih dari 25.000 pekerja kehilangan pekerjaan pada akhir 2023 hingga awal 2024.
Penurunan permintaan ekspor ke AS dan Eropa sebesar 40% sejak 2022 berdampak langsung pada pabrik-pabrik di Tangerang dan Bandung.
Masalah ini memperlihatkan betapa rapuhnya pasar tenaga kerja Indonesia. Ketergantungan pada industri yang bergaji rendah dan minim keterampilan membuat ketenagakerjaan sangat sensitif terhadap guncangan eksternal. Program pelatihan ulang dan peningkatan keterampilan dari pemerintah belum berdampak signifikan di lapangan.
Regulasi ketenagakerjaan juga menjadi sorotan. UU Cipta Kerja yang bertujuan menciptakan fleksibilitas ketenagakerjaan justru menimbulkan polemik. Banyak pengusaha masih menganggap aturan ketenagakerjaan Indonesia terlalu kaku, sehingga enggan merekrut dalam skala besar.
Gelombang PHK saat ini bukan hanya angka-ini adalah tragedi ekonomi bagi ribuan keluarga. Indonesia membutuhkan solusi jangka panjang: reformasi struktural di sektor ketenagakerjaan, investasi dalam pelatihan vokasi, penguatan jaminan sosial bagi sektor informal, serta insentif fiskal bagi industri yang mampu menciptakan lapangan kerja berkelanjutan.
Pembangunan ekonomi tidak cukup hanya dilihat dari pertumbuhan angka PDB. Kesejahteraan dan ketahanan tenaga kerja harus menjadi indikator utama. PHK massal ini adalah alarm keras bahwa Indonesia tidak bisa lagi menunda pembenahan menyeluruh di sektor ketenagakerjaan. (Septiadi, Riskonomics)