Ilustrasi Mal. Foto: shutterstock

RINCIH.COM. Sebuah riset memperkirakan, pertumbuhan pendapatan e-commerce di Indonesia mencapai US$120 miliar pada tahun depan. Hal ini didukung oleh 64 persen dari total belanja online masyarakat Indonesia. Riset juga melaporkan, lonjakan Livestream Commerce di Indonesia mencapai 69 persen pada tahun 2022, melalui platform e-commerce. Sementara, SPER Market Research® mengungkapkan bahwa pasar online grosir di Indonesia sedang naik pesat dengan proyeksi mencapai USD 60,61 miliar pada tahun 2032.

Staf Ahli Himpunan Peritel & Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO) Yongky Susilo mengatakan, hasil riset mengenai pertumbuhan e-commerce di Indonesia memang berbeda-beda tergantung dari sumber data yang digunakan. Selama ini HIPPINDO lebih menggunakan data resmi dari Bank Indonesia yang dinilai realible.

“Masalah perbedaan data pertumbuhan e-commerce, terjadi karena asal data yang diperoleh. Jadi tergantung sumber data, kalau sumber data berbeda maka berbeda pula hasilnya. Namun data yang sangat reliable adalah data dari Bank Indonesia (BI), karena BI mengambil dari data transaksi langsung bukan proyeksi,” ungkap Yongky  pada seminar yang digelar HIPPINO dengan tema “Retail Sector Indonesia, Malaysia dan Manila”, dalam rangkaian agenda Jitex 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Kamis (8/8/2024).

Yongky menambahkan, dari sekian perkiraan kenaikan pendapatan e-commerce layaknya minuman manis yang membuat diabetes. Faktanya, kondisi sebaliknya berlaku pada peritel fast moving costumer good (FMCG). Mereka mencatat transaksi e-commerce sangat kecil. Yang dialami pelaku FMCG pahit layaknya jamu, tapi itu bisa menjadi obat untuk kembali pulih.

Pelaku e-commerce seharusnya lebih mengenal karakteristik dari bisnis e-commerce yang dilakoninya. Pasalnya ada beberapa karakter yang ada dalam bisnis e-commerce tersebut, yakni business to business (B2B), Costumer to Costumer (C2C), dan Business to Costumer (B2C). B2B adalah sebuah model penjualan yang terjadi antara pelaku bisnis dengan pelaku bisnis lainnya. B2C adalah model penjualan antara pelaku bisnis dengan konsumen. C2C adalah model bisnis di mana konsumen dari sebuah marketplace menjual produk ke sesama konsumen lainnya.

Yongky menjelaskan, sebagian besar karakter bisnis e-commerce di dunia atau Indonesia, 80-90 persennya masih B2B. Namun untuk Cina dan Amerika, karakter e-commerce sudah B2C sampai 50 persen. Pelaku e-commerce Cina sudah bisa menjual langsung ke konsumen. “Karakteristik e-commerce Indonesia, 80 persennya B2B. Semuanya pedagang atau makelar. Makanya namanya berubah menjadi lapak,”kata Yongky kepada rincih.com.

Transaksi dari e-commerce B2B, 40 persennya cenderung pada non sale. 15 persen dari 40 persen tersebut biasanya untuk jualan-beli sendiri, menaikan ranking penjualan atau sekadar mengambil diskon saja. “25 persennya taruh di keranjang, padahal produk belum dibayar. Jadi 40 persen tidak sale. Jadi B2B seperti itu. Tapi tidak pernah B2C. Sehingga jangan pernah berfikir buka gudang, lalu isi produk, terus dijual langsung. Oh tidak,” jelas Yongky.

Liverstreaming Commerce

Aktivitas livestreaming commerce di Cina sudah mencapai 50 persen. Sedangkan di Indonesia sedang bertumbuh. Yongky menilai, aktiivitas livestreaming harus disikapi penuh dengan kehati-hatian. Menurutnya, liverstreaming commerce memberikan diskon yang besar. Oleh karena itu peritel-peritel besar enggan untuk melakukan livestreaming commercer lantara akan dimusuhi distributornya.

“Digitalisasi merupakan alat marketing, jadi hanya untuk viral saja. Kemudian dilanjutkan offline. Pemain online ada batasnya ditambah lagi diskon yang besar, sehingga brand besar saja yang dapat bertahan di toko online. Menjaga bran menjadi keharusan. Karena begitu perang dengan diskon, maka bisa mati,” ungkapnya.

Fenomena showrooming merupakan cara belanja konsumen. Hal penting yang harus dibangun adalah kepercayaan, bukan diskon besar-besaran. Dengan membangun kepercayan akan membangun pula profitabilitas. ”E-commerce Indonesia akan mati jika cara mainnya seperti itu,” tegasnya.

Apakah keberadaan e-commerce akan mematikan mal? Mal-mal di Indonesia masih hidup sampai sekarang, karena melakukan bisnis langsung ke konsumen. “Yang mati duluan,  yang berkarakter B2B, seperti mal grosir, trade mal, trade center. Itu yang mati duluan. Tapi kalau B2C FMCG, tetap hidup. Contohnya mal kita hidup semua. Mal sudah ramai. Namun justru yang mematikan mal adalah regulasi pemerintah,” tutup Yongky.

By Septiadi

Adalah seorang penulis, dengan pengalaman sebagai wartawan di beberapa Media Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *