RINCIH.COM. Starbucks Indonesia (PT. MAP Boga Adiperkasa, Tbk) yang sudah beroperasi 20 tahun lebih pernah bernilai Rp. 7-8 triliun, tapi kini market cap (2025) tinggal 4 triliun.
Kopi Kenangan, baru 5 tahun, resmi menjadi unicorn sejak 2022 dengan valuasi senilai US$ 1 milyar atau ekuivalen Rp. 14,2 triliun saat kurs di 2021.
Setelah lebih dari 20 tahun, Starbucks mendominasi pasar coffee shop di Indonesia, siapa sangka bisa ditempel ketat oleh pemain lokal, Kopi Kenangan.
Kira-kira apa saja yang membuat pemain global hampir tersalip pemain lokal? Stefanus Gunawan, Chief Marketing Officer Semanggi Holding Group menegaskan, strategi harga. Starbucks sejal awal bermain di segmen premium dengan harga segelas Rp. 40-70 ribu. yang dijual bukan hanya kopi, tapi citra gaya hidup.
“Kopi kenangan datang lebih sederhana, dengan harga Rp. 18-30 ribu dan format kios grab and go, membuat cepat dan terjangkau. cocok untuk ritual harian,” katanya kemarin.
Starbuck Jual Gengsi, Kopi Kenangan Jual Kebiasaan.
Strategi emosi main di hati, tidak hanya main di lidah. Produk starbucks terdengar premium, nama asing seperti caramel macchiato atau pumpkin spice latte membuat pelanggan serasa “naik kelas”.
“Kopi kenangan mengambil jalur berbeda, penamaan produk yang menohok dan relatable, yakni kopi kenangan mantan, emosi yang dipicu: dekat, personal dan lucu,” katanya.
Strategi Speed, Bukan Ribet.
Starbucks identik dengan ritual panjang, antri, sebut nama (kadang salah tulis). pengalaman ini cocok buat nongkrong, tapi tidak praktis jika buru-buru. Sedangkan, Kopi Kenangan bermain di kecepatan.
“Format kios grab and go plus aplikasi membuat pesanan selesai dalam hitungan menit, cocok buat pekerja yang butuh kopi tanpa drama,” ungkapnya.
Stefanus menambahkan, Starbucks memberi cerita cerita, Kopi Kenangan kasih segera. Kopi Kenangan menjual emosi pakai nama mantan, starbucks jual gengsi pakai nama di cup.
Sementara, Nururrokhman Santoso, seorang Sales Leader mengatakan, terlepas dari persaingannya dan segmentasi brand dan produk. Starbuck dengan jumlah gerai yang hampir 2x sedikit, tetapi pendapatannya 2x lebih besar. Dengan jumlah gerai yang lebih sedikit, mestinya opex nya lebih rendah.
“Tetapi jika melihat resiko branding yang harus di tempat strategis seperti mall, perkantoran elit, membuat design lay out yang proper untuk dine in maka costnya jauh lebih besar,” katanya.
Nururrokhman menambahkan, PR besar untuk Starbuck dalam meningkatkan penjualan, mencari additional revenue stream, menurunkan cost.
Herry Gunawan, Praktisi Digital transformation is about culture, environment and habit memgatakan, secara positioning, Kopi Kenangan fokus ngegas ke anak muda dengan harga yang friendly di kantong. Di sisi lain, Starbucks tetap di jalurnya, menyasar kalangan anak-anak muda dengan gaya urban dan harga premium di atas Kopi Kenangan.
“Dan yang pasti, Starbucks juga menghadapi tekanan publik karena dianggap terlibat isu genosida di Palestina. CMIIW,” unglapnya.
Dedi Saputra, Experienced in Risk Management menjelaskan, konsep yang dibawa Kopi Kenangan dan saingannya seperti Janji Jiwa berhasil membuat mereka bertahan di tengah bisnis kopi yang membludak.
Jika ditelisik lebih jauh mereka menyiapkan konsep bisnis yang tidak hanya kopi namun juga makanan cepat saji, convenience place, pemilihan lokasi yang strategis seperti gedung-gedunh perkantoran. Terakhir pricing yang dipasang berhasil mengisi gap harga premium kopi Starbucks. (rc)