Salah satu warung Madura yang buka 24 Jam. (Foto Jawapos/Radar Solo)

RINCIH.COM. Pakar Manajemen yang juga Managing Partner Inventure Yuswohady membeberkan hasil riset Inventure 2024 bertajuk Market Outlook 2025. Laporan itu menunjukkan korelasi antara turunnya daya beli masyarakat dengan perkembangan bisnis Warung Madura.

Survei Inventure menunjukkan, 49 persen kelas menengah mengalami penurunan daya beli, yang disebabkan oleh setidaknya tiga faktor utama, yakni harga kebutuhan pokok, mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, serta pendapatan yang stagnan. Survei tersebut melibatkan 450 responden yang berasal dari lima kota besar meliputi Jabodetabek, Semarang, Surabaya, Medan, dan Makassar. Responden berasal dari kelas menengah milenial dan gen Z dengan metode survei wawancara langsung pada September 2024.

“Dengan turunnya kelas menengah, dari survei itu saya lihat dan simpulkan bahwa memang mereka menjadi lebih selektif dan lebih rasional untuk spending. Salah satunya adalah Warung Madura ini menjadi alternatif,” kata Yuswohady saat ditemui Tim Republika di Jakarta, beberapa waktu lalu.

Survei tersebut menunjukkan bahwa sebanyak 71 persen responden dari kalangan kelas menengah pernah berbelanja di Warung Madura. Ada sejumlah keunggulan dari Warung Madura sehingga menjadi pilihan bagi kalangan kelas menengah.

Menurut survei, faktor paling dominan dari keunggulan Warung Madura adalah lokasinya yang lebih dekat dan mudah dijangkau (74 persen), disusul faktor harga yang lebih murah (61 persen). Kemudian faktor menawarkan pembelian dalam bentuk kemasan eceran (52 persen), dan faktor jam operasional 24 jam non-setop (42 persen).

Mengenai kedekatan lokasi, Yuswohady menuturkan bahwa memang ekspansi Warung Madura ke lingkungan permukiman terbilang cepat, terutama di Pulau Jawa-Bali. Bahkan ekspansinya bisa dibilang mengungguli retail modern.

“Kita tahu sebelumnya Indomaret dan Alfamart kan ekspansinya luar biasa. Tapi Warung Madura ini lebih luar biasa karena dia masuk ke kampung-kampung. Sehingga kemudian dari sisi konsumen proximity atau kedekatan itu menjadi penting,” ujarnya.

Adapun mengenai harga yang lebih murah di Warung Madura, Yuswohady menuturkan hal itu karena memang biaya komponen produksi atau overhead-nya kecil dan bersifat desentralisasi dalam pengambilan harga. Berbeda dengan ritel modern yang membutuhkan overhead yang besar dengan meliputi TI dan pegawai, serta bersifat sentralisasi dalam pengambilan harga.

“Masing-masing warung diberi keleluasaan, jadi terdesentralisasi untuk mengambil harga yang terendah, enggak tersentral kayak di warung modern. Karena terdesentralisasi, itu yang menyebabkan kemudian harganya bisa lebih murah dan small denomination,” tuturnya.

Menghadirkan produk dalam bentuk eceran tak ayal jadi keunggulan pula. Sehingga Warung Madura memiliki fleksibilitas yang menjadi daya tarik. Berbeda dengan produk di ritel moden yang menjajakan produk dalam bentuk kemasan yang standar, di Warung Madura, ada kemasan-kemasan kecil dan menengah yang dijajakan kepada konsumen. Mengenai jam operasionalnya yang 24 jam non-setop, Yuswohady melihat bahwa Warung Madura telah berhasil membentuk segmen pasar yang anyar, yakni orang-orang yang beraktivitas pada malam hari.

“Warung Madura membuat satu segmen baru yang saya sebut midnight market, atau saya istilahkan Begadangers. Nature-nya begitu, jadi kalau tidak ada supply-nya atau enggak ada tokonya yang buka di malam hari, ya market enggak terbentuk,” jelasnya.

Yuswohady melanjutkan, ada beberapa faktor lainnya pula yang menjadi keunggulan Warung Madura, seperti tidak adanya pungutan parkir. Namun, faktor tersebut dinilai tidak terlalu berpengaruh. Dia menekankan faktor yang besar berpengaruh lebih kepada fleksibilitas dan sisi denominasi.

Menurut survei, mengenai jenis produk yang paling banyak diminati oleh konsumen, yang paling dominan adalah minuman botol (79 persen), disusul sembako eceran (64 persen), snack (55 persen), rokok (55 persen), toiletries (55 persen), dan tabung gas 3 kg (49 persen). Lalu bumbu dapur sachet (45 persen), minuman sachet (43 persen), obat-obat satuan (21 persen), dan mi instan (18 persen), serta pulsa elektrik (15 persen).

“Jadi yang paling gede (diminati konsumen) adalah barang-barang yang kecil, seperti minuman botol, makanan yang siap makan (snack) dan rokok. Dan itu menjadi kebiasaan mereka pada waktu terutama di malam hari, dan yang harganya kompetitif dibandingkan dengan warung ritel modern,” kata Yuswohady.

Tren Affordable Quality

Mengamati perkembangan bisnis Warung Madura, Yuswohady menilai ada tren bisnis yang dinamakan affordable quality. Tren tersebut dinilai sudah terjadi pada 2024 dan diprediksi akan semakin kuat pada 2025.

“Affordable quality artinya brand-brand yang menghasilkan produk yang punya kualitas sama, tetapi dengan harga yang lebih affordable,” kata Yuswohady.

Lebih lanjut, Yuswohady menjelaskan bahwa sebenarnya tren tersebut dimotori awalnya oleh pemain-pemain China. Dengan market domestik yang luas, China mampu menghasilkan produk-produk yang berkualitas dengan harga yang affordable. Yuswohady mencontohkan, produk bermerek Xiaomi atau Huawei di bidang elektronik, BYD dan Wuling di bidang otomotif. Juga ada Tomoro dan Mixue di bidang food and beverage (F&B).

“Affordable atau murah itu kaitan sama kelas menengah yang turun, tapi kualitasnya matching atau match up dengan brand-brand existing. Kalau kita kaitkan dengan Warung Madura, dari sisi kualitas produknya kan sama (dengan ritel modern), seperti Unilever, Mayora, dan seterusnya. Jadi, produknya sama, tetapi layanannya lebih bagus karena community based,” ujar dia.

Yuswohady menekankan, penentuan harga yang lebih murah (dengan kualitas yang sama) tidak terlepas dari upaya menekan biaya atau manajemen aset. Warung Madura tidak perlu mencari tempat atau lokasi yang cenderung prime, berbeda dengan ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret yang butuh lokasi prime, dengan sewa tempat yang mahal. Ia kemudian pun menyinggung kabar adanya penutupan 400 alfamart pada 2024, yang disebabkan oleh faktor harga sewa yang terus naik.

Warung Madura juga tidak perlu mengeluarkan biaya untuk seragam karyawan, serta kebutuhan teknologi. Sehingga ada banyak overhead yang mampu ditekan oleh bisnis Warung Madura. Di samping itu, Warung Madura pun disebut mengambil keuntungan atau margin yang tidak tinggi.

“Jadi pola ini sama dengan BYD, Wuling di Otomotif, kemudian Tomoro di kedai kopi, Mixue di es krim. Jadi ini saya lihat satu tren di mana ada pemain-pemain baru yang bisa menghasilkan kualitas produk atau kualitas servis, tetapi dengan harga yang affordable. Affordable quality ini fit dengan kondisi kelas menengah Indonesia yang lagi turun daya belinya,” jelasnya.

“Jadi, Warung Madura menurut saya adalah fenomena munculnya tren ke arah affordable quality ini,” lanjutnya.

Warung Madura yang secara lokasi, harga, dan jam operasional (24 jam) lebih unggul dari toko modern tersebut menjadi pilihan berbelanja kebutuhan dasar warga seperti minuman botol, sembako, snack, dan produk mandi.

Tantangan dan Keberlanjutan Bisnis

Yuswohady menyebut bahwa bisnis Warung Madura menganut gaya manajemen kearifan lokal. Dalam perwujudannya, Warung Madura tidak melulu soal bisnis, tapi juga menerapkan kekuatan sosial atau gotong royong. Ia mencontohkan, berdasarkan cerita yang diperolehnya, sejumlah pemilik Warung Madura, meskipun buka 24 jam non-setop, sesekali mereka bisa menutup warung barang satu atau dua jam khusus untuk melayat atau tahlilan pelanggan mereka yang meninggal dunia.

Itu dinilai sebagai bentuk community based yang kental dengan nilai kearifan lokal.
Menurut pandangannya, dengan gaya manajemen kearifan lokal itu, Warung Madura bisa menyaingi manajemen yang berkembang di dunia Barat.

“Saya justru melihat Warung Madura ini sustainable. Karena roh dari manajemen kearifan lokal ini adalah pendekatan yang berbeda dengan pendekatan manajemen barat,” kata dia.

Yuswohady menjelaskan, karakteristik manajemen Barat adalah rasional, profesional, dan transaksional. Adapun manajemen kearifan lokal lebih berlandaskan pada trust. Contohnya, dalam manajemen Barat, TI merupakan paling penting dalam pengembangan bisnis supaya mampu mengontrol keberjalanan bisnis. Sementara di Warung Madura, tidak perlu menggunakan TI, tapi bisa mengantisipasi terjadinya fraud atau kecurangan dalam laporan keuangan.

“Kalau di transaksional yang di manajemen Barat, itu (fraud) bisa terjadi. Di Warung Madura tanpa catatan (TI), tapi tidak terjadi fraud atau pegawai yang nakal. Kenapa? Karena adanya interaksi sosial, kedekatan sosial.

Konon katanya orang yang mengelola Warung Madura harus suami istri misalnya, dan harus orang Madura salah satunya, ini tujuannya bukan masalah eksklusif Madura, tapi untuk menciptakan trust, sehingga fraud tidak terjadi. Ini di dalam manajemen rasional Barat tidak ada, dan itu sulit ditiru oleh manajemen Barat,” ungkapnya.

Yuswohady mengaku yakin bahwa Warung Madura bisa berkelanjutan karena adanya ikatan sosial, kedekatan sosial, dan interaksi sosial yang terbangun di dalam iklim bisnisnya. Namun, di samping itu, kondisi itu juga menjadi tantangan ke depan.

“Tantangan terbesar adalah bagaimana mempertahankan kearifan lokal itu, trust itu. Trust itu menciptakan efisiensi, kecepatan, dan semacamnya. Itu di dalam ilmu marketing namanya diferensiasi. Diferensiasi itu sesuatu rantai aktivitas yang sulit ditiru oleh pesaing. Kalau pakai teknologi, teknologi itu asal punya duit gampang ditiru, tapi kalau social capital, itu bukan masalah duit,” ujar dia.(dbs)

By Septiadi

Adalah seorang penulis, dengan pengalaman sebagai wartawan di beberapa Media Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *