RINCIH.COM. Traveloka sempat bersinar sebagai simbol harapan bagi Asia Tenggara. Namun, kini, perusahaan tersebut diam-diam memindahkan kantor pusatnya ke Singapura. Apakah ini sekadar keputusan bisnis? Ataukah ini tanda peringatan bagi semua startup Indonesia?
Banyak Pemimpin Pindah dan Perusahaan Berpindah Negara
Pada tahun 2024, banyak pemimpin puncak Traveloka pindah ke Singapura. Perusahaan juga berubah menjadi perusahaan yang berbasis di Singapura. Perusahaan ini bukan lagi “unicorn dari Indonesia,” tetapi sekarang menjadi perusahaan multinasional dengan kantor pusat di Singapura.
Dua Tahun Perubahan Internal dan Pemangkasan Biaya
Sejak tahun 2022, Traveloka membuat perubahan besar. Perusahaan menutup departemen yang tidak menguntungkan, memangkas hampir setengah dari stafnya, dan mengurangi tunjangan karyawan. Pada saat yang sama, perusahaan memindahkan pekerjaan teknologinya dari Indonesia ke negara lain.
Memasuki Pasar Jepang
Pada tahun 2024, Traveloka mulai mengembangkan bisnisnya di Jepang dan Korea Selatan. Di Jepang, mereka mulai merekrut staf lokal dan bekerja sama dengan mitra lokal. Mereka kini berupaya untuk menjadi merek global yang lebih kuat.
Mengapa Tim Teknologi Pindah?
Perusahaan seperti Traveloka dan Gojek memindahkan tim teknik mereka ke tempat-tempat seperti Vietnam, India, dan bahkan China. Sepertinya mereka tidak senang dengan disiplin, pola pikir, kecepatan, dan tingkat keterampilan di Indonesia.
Bagaimana Mereka Melihat Pekerja Indonesia?
Banyak pendiri perusahaan percaya pada bakat orang Indonesia. Namun kenyataannya, ada masalah besar dalam pendidikan, kebiasaan kerja, dan budaya perusahaan. Beberapa karyawan tidak siap bekerja dengan baik, dan tidak berkomitmen penuh. Jadi, beberapa perusahaan memindahkan tim teknologi mereka ke negara lain.
Aturan dan Tindakan Pemerintah yang Tidak Stabil
Banyak pendiri startup mengatakan bahwa aturan di Indonesia selalu berubah. Terkadang, pemerintah mengubah undang-undang secara tiba-tiba. Terkadang, aturan baru digunakan tanpa peringatan. Hal ini membuat perencanaan menjadi sangat sulit.
Sekalipun perusahaan melakukan semuanya dengan jujur, pemerintah nantinya dapat mengatakan bahwa perusahaan tersebut melanggar aturan dan memberikan denda yang besar. Karena hal ini, sulit bagi para pemimpin bisnis dan investor untuk membuat rencana jangka panjang di Indonesia.
Pasar Saham Tidak Menarik
Setelah Bukalapak, GoTo IPO, harga sahamnya anjlok. Hal ini menunjukkan bahwa pasar saham Indonesia tidak menarik bagi perusahaan teknologi. Nilai perusahaan tumbuh lambat. Sulit juga untuk mendapatkan investasi besar. Jadi, banyak perusahaan sekarang berpikir untuk mencatatkan sahamnya di pasar seperti Nasdaq atau Hong Kong.
Satu per Satu, Mereka Mulai Runtuh
Tak hanya Traveloka yang mengalaminya. Unicorn Indonesia ternama lainnya juga mengalami masalah, misalkan:
Bukalapak: Mereka memangkas banyak pekerjaan dan kini menjadi lebih kecil. Pertumbuhan mereka melambat.
Tokopedia: Setelah merger dengan TikTok, perusahaan ini tidak lagi dianggap sebagai perusahaan rintisan independen dari Indonesia.
GoTo: Mereka sedang dalam pembicaraan untuk merger dengan Grab. Kebebasan mereka untuk tumbuh semakin mengecil.
eFishery: Setelah skandal keuangan, perusahaan ini hampir bangkrut, menurut laporan berita.
Dunia startup di Indonesia sedang dalam masalah serius, meskipun pernah disebut sebagai “Silicon Valley-nya Asia Tenggara.”
Pemerintah Harus Mendukung Startup
Startup harus didukung. Mereka akan menciptakan lapangan kerja masa depan negara ini. Yang kita butuhkan adalah aturan yang jelas, kebijakan jangka panjang, dan lingkungan yang adil di mana penantang bisa menang.
Kita butuh bantuan pajak, undang-undang, perekrutan orang, dan mendapatkan uang. Kalau tidak, makin banyak perusahaan yang akan mengikuti ide “#Kabur AjaDulu”.
Tetap Saja, Saya Ingin Terus Menantang di Indonesia
Saat ini, saya sedang menjalankan startup di Indonesia. Ya, memang sulit. Tapi saya tetap percaya pada anak muda di sini yang berani mengambil risiko. Saya tetap percaya pada peluang besar yang dimiliki pasar ini. (Yutaka Tokunaga, CEO Timedoor)