RINCIH.COM. Setiap awal musim hujan, Jakarta dan kawasan penyangganya kembali dihantui kekhawatiran. Jalan berubah menjadi kanal, rumah terendam, dan aktivitas ekonomi lumpuh. Banjir tidak lagi dapat dipandang sebagai fenomena rutin, melainkan sebagai bagian dari krisis hidrometeorologi yang kian nyata. Perubahan iklim global memicu cuaca ekstrem, menambah intensitas hujan lebat, dan memperparah risiko rob di pesisir utara Jakarta.
Data menunjukkan curah hujan ekstrem di Jakarta meningkat hingga 45 persen dalam beberapa dekade terakhir, sementara suhu rata-rata kota naik sekitar tiga derajat Celsius dalam kurun 150 tahun. Di sisi lain, hutan dan daerah resapan air di kawasan hulu terus menyusut akibat alih fungsi lahan. Situ dan rawa yang dulunya menjadi kantong air beralih fungsi menjadi kawasan permukiman dan komersial. Kombinasi ini membuat air hujan turun lebih cepat ke hilir, membawa sedimen, sampah, dan kerusakan ekosistem sungai.
Pendekatan yang selama ini dominan mengandalkan beton dan normalisasi Sungai, memang telah membantu mengurangi risiko dalam jangka pendek. Namun, pengalaman menunjukkan bahwa strategi ini tidak lagi memadai. Kanal banjir, sodetan, dan rumah pompa kehilangan efektivitas ketika curah hujan ekstrem melebihi kapasitas desain. Membuang air secepat mungkin ke laut juga bukan pilihan bijak ketika kota ini kerap mengalami kekeringan di musim kemarau.
Jakarta perlu mengubah cara pandang terhadap air hujan: bukan musuh yang harus dibuang, melainkan aset yang harus dimanfaatkan. Infrastruktur hijau, seperti atap hijau, taman air hujan, kolam retensi, bioretensi, dan sistem panen air hujan, perlu menjadi bagian dari perencanaan kota. Setiap liter air yang diserap ke dalam tanah adalah liter banjir yang dicegah. Revitalisasi situ dan rawa-rawa yang telah hilang fungsinya harus diprioritaskan.
Di pesisir, ancaman banjir rob semakin besar karena penurunan muka tanah akibat eksploitasi air tanah berlebihan. Mengandalkan tanggul laut semata tidak cukup. Perlu kebijakan yang tegas untuk mengurangi pengambilan air tanah, memperluas jaringan air bersih, dan memperkuat penanaman mangrove. Ekosistem mangrove bukan hanya pelindung alami pantai, tetapi juga penyangga biodiversitas dan penyerapan karbon.
Persoalan banjir di Jakarta tidak dapat diselesaikan secara parsial atau administratif. Sungai-sungai utama—Ciliwung, Cisadane, Krukut—melintasi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi sebelum bermuara di Jakarta. Tanpa koordinasi lintas daerah, upaya yang dilakukan di hilir hanya akan memindahkan masalah. Penegakan tata ruang di daerah hulu mutlak diperlukan untuk melindungi daerah tangkapan air. Pemerintah pusat harus berperan sebagai pengarah kebijakan agar langkah-langkah tiap daerah berjalan selaras.
Di tingkat kota, penataan ruang harus tegas. Bantaran sungai tidak dapat terus-menerus digunakan sebagai permukiman padat. Relokasi memang langkah sulit, tetapi membiarkan ribuan warga tinggal di jalur banjir berarti mempertaruhkan keselamatan mereka setiap musim hujan. Bantaran sungai dapat difungsikan kembali sebagai ruang terbuka hijau, taman publik, atau jalur sepeda—fasilitas yang aman meski sesekali tergenang.
Pengelolaan sampah juga harus dibenahi. Sampah plastik dan limbah rumah tangga yang menyumbat aliran air memperparah genangan. Kebijakan pengurangan sampah dari hulu, peningkatan fasilitas pengelolaan, serta penegakan hukum terhadap pembuangan sembarangan harus berjalan beriringan. Pengelolaan air limbah domestik yang lebih baik juga akan memperbaiki kualitas air sungai dan kesehatan masyarakat.
Sistem peringatan dini banjir perlu ditingkatkan. Informasi cuaca, debit sungai, dan status pintu air harus disajikan secara real-time dan mudah diakses publik. Teknologi dapat dimanfaatkan untuk menyebarkan peringatan melalui aplikasi, media sosial, dan jaringan komunitas lokal. Peringatan dini yang efektif akan memberi waktu bagi warga untuk melindungi aset, mengungsi, atau mengambil langkah pencegahan.
Keterlibatan masyarakat adalah bagian penting dari solusi. Komunitas peduli sungai, karang taruna, sekolah, dan kelompok warga dapat dilibatkan dalam program pemanenan air hujan, pembuatan biopori, atau pemeliharaan taman air hujan. Partisipasi publik tidak hanya membantu mengurangi beban pemerintah, tetapi juga menumbuhkan rasa kepemilikan terhadap lingkungan.
Banjir Jakarta bukanlah takdir. Ia merupakan hasil akumulasi keputusan kebijakan, tata ruang, dan perilaku manusia. Jika daerah hulu terus gundul, bantaran sungai tetap dipadati permukiman, dan air hujan terus dibuang ke laut, maka siklus banjir akan terus berulang. Namun, jika kota ini berani mengubah pendekatan—memulihkan ekosistem, menghentikan eksploitasi air tanah berlebihan, dan memperkuat koordinasi lintas wilayah—risiko dapat ditekan secara signifikan.
Keberhasilan tidak diukur dari panjang tanggul atau besarnya anggaran, tetapi dari dampak nyata: seberapa cepat air surut, seberapa sedikit warga mengungsi, dan seberapa banyak ruang hijau bertambah. Jakarta membutuhkan visi jangka panjang untuk menjadi kota yang tangguh menghadapi krisis hidrometeorologi, bukan sekadar bertahan setiap kali hujan besar datang.
Mengelola air berarti menyelamatkan kota dan warganya. Ini bukan semata persoalan teknis, melainkan juga soal kepemimpinan politik dan konsistensi kebijakan. Jakarta memiliki sumber daya manusia, teknologi, dan dana untuk berubah. Yang dibutuhkan sekarang adalah kemauan politik dan kesediaan untuk mengambil langkah-langkah sulit demi masa depan yang lebih aman.
Dalam menghadapi krisis iklim global, banjir Jakarta adalah ujian serius. Jawaban yang kita berikan akan menentukan apakah Jakarta tetap menjadi simbol kerentanan atau justru teladan ketangguhan. Saatnya berhenti menunggu air surut. Saatnya bertindak. (Artikel oleh: Merry Efriana, Mahasiswa Doktoral PSL, IPB)