RINCIH.COM. Malam itu, pengunjung sudah memadati Pusat Pelatihan Seni dan Budaya Jakarta Timur (PPSB Jak-Tim). Selasa malam (3/9/2024) ratusan orang mendatangi PPSB Jak-Tim untuk bertemu para Penghuni Kapal Selam.
Penghuni Kapal Selam merupakan judul dari pementasan teater yang dibawakan oleh Sanggar Komunitas Tujuh. Naskah Penghuni Kapal Selam dibuat oleh Zak Sorga, sutradara sekaligus penulis film dan teater.
Naskah Penghuni Kapal Selam ini dipentaskan pertama kali dengan judul “Melawan Arus” oleh Teater Kanvas pada 3-4 Juli 1999 di Grha Bhakti Budaya-Taman Ismail Marzuki (TIM). Para pemain kala itu adalah Nur Said Saputra, Badrian Noviansyah, CC Febriyono, Jerio Jefry, Agus PM Toh, Toto Prawoto, Hendy Pramana, Syafi’i, Kukuh Santosa, Panji Murtadlo, Sanip Sing dan aktivis mahasiswa Masjid Amir Hamzah. Kemudian Teater Kanvas mementaskan kembali Penghuni Kapal Selam pada tahun 2014 di Gedung Kesenian Jakarta.
Naskah “Melawan Arus” kemudian ditulis ulang dengan mengganti nama menjadi ” Penghuni Kapal Selam” pada 23 Desember 2009 oleh penulisnya, Zak Sorga di Depok. Nama Kapal Selam merupakan penjara. Di Kapal Selam tersebut para tiran dengan “senang hati” menyiksa dan mengubur hidup-hidup lawan politiknya.
Nama tokoh-tokoh dalam “Melawan Arus” atau “Penghuni Kapal Selam” diambil dari nama para pemain, seperti Jerio, Kukuh, Prawoto, dan Pi’i atau Syafi’i. Namun ada tokoh-tokoh lain seperti Abdul Ghofar (60 tahun), seorang guru agama, aktivis dakwah yang memiliki pembawaan sangat tenang dan berwibawa. Abdul Ghofar merupakan pemimpin Penghuni Kapal Selam dan paling ditakuti sipir penjara. Di dalam penjara, dia lebih banyak sholat.
Muthalib (60 tahun), politikus tua yang stress berat karena dipenjara bertahun-tahun. Jalannya pincang akibat siksaan. Dia selalu menggedor-gedor pintu sel, sambil mengasah pisaunya yang terbuat dari sendok serta berteriak-teriak ingin membunuh orang yang telah menangkapnya.
Jerio (45 tahun), orator dan aktivis politik yang ambisius, selalu bermimpi jadi orang besar yang akan memimpin negeri. Berlagak sok suci dan kuat, padahal sejatinya dia suka menangis sendirian menyesali nasibnya.
Yan (45 tahun), aktivis dakwah yang dipenjara sejak muda, wajahnya bopeng akibat siksaan dan disunduti rokok oleh algojo saat diinterogasi. Dia labil dan gampang percaya pada kebaikan orang.
Kukuh (22 tahun), mahasiswa yang stress, bahkan mendekati gila akibat siksaan saat diinterogasi. Setiap menit dia selalu ketakutan dan terus berlari-lari karena merasa dikejar-kejar oleh aparat.
Pi’i atau Syafi’i (29 tahun), masuk penjara ini pada usia anak-anak dan merasa terus menjadi anak-anak meski usianya sudah dewasa. Dia adalah mantan tukang es yang bercita-cita untuk terus jualan es, jika sudah bebas nanti.
Prawoto (50 tahun), mantan pemimpin perampok yang ingin bertobat, tapi malah diciduk dan dijebloskan ke dalam penjara. Dia disiksa hingga buta.
Sokle (40 tahun), tukang bengkel elektronik yang dituduh sebagai penggerak massa, jalannya mengesot karena kakinya lumpuh akibat siksaan.
Sipir Kepala (45 tahun), merasa berkuasa dan kuat. Juru Runding (40 tahun), berpenampilan parlente, pintar dan licik. Si Kutu Buku (30 tahun), pendiam dan misterius. Terakhir tokoh para sipir penjaga.
Pendiri Sanggar Komunitas Tujuh Kukuh Santosa menjelaskan, naskah ini dibuat dengan latar belakang maraknya tokoh-tokoh atau aktivis pergerakan yang hilang atau dihilangkan oleh rezim. “Penulis berfikir tokoh tersebut masih hidup atau ada. Maka dibuatlah naskah ini. Dan penulis membaca selebaran yang tertuliskan “Jangan pernah mengaku menjadi aktivis kalau belum masuk kapal selam alias penjara”,” ungkap Kukuh.
Kukuh menerangkan, naskah Penghuni Kapal Selam berawal dari sumber berita hilangnya para aktivis 1998 seperti Wiji Tukul dan kawan-kawan, sehingga naskah ini bersifat realis. Namun untuk tokoh realisnya dibiaskan oleh penulis. “Penulis tak semata menempatkan para tokoh begitu saja, tapi berdasarkan berita,” jelasnya.
“Bagaimana kabar orang orang yang hilang pada 1998 yang diculik, apakah hidup atau mati? Penghuni Kapal Selam ini menggambarkan orang orang itu,” tambahnya.
Untuk pementasan Penghuni Kapal Selam ini, Sutradara Sanggar Komunitas Tujuh, mengakui ada beberapa adaptasi terhadap naskah berdasarkan pertimbangan tokoh dan waktu, tanpa mengubah esensi dan jalan cerita. Misalnya meniadakan tokoh seperti tokoh Yan. Tapi ada juga beberapa dialog Yan yang dilimpahkan ke Prawoto tanpa harus menghilangkan inti cerita. Kemudian dialog-dialog yang diucapkan oleh Abdul Ghofar tidak semuanya disampaikan persis tertera dalam naskah. Meski intinya atau pesan sudah sampai, namun kurang tebal atau penuh pesan yang disampaikan.
Para Penghuni Kapal Selam ini sudah berada sejak puluhan tahun. Kecemasan, putus asa, ketertindasan, mencekam dan stress menghiasi kehidupan mereka. Hal ini juga didukung oleh set panggung yang merepresentasikan suasana seperti itu. Namun, penonton atau pengunjung merasakan kurang mencekam suasana panggung karena masih terlihat bersih, apalagi dengan adanya backdrop atau kain putih bersih sebagai latar belakang.
“Puluhan tahun dalam penjara seharusnya gelap, kotor dan mencekam. Itu bisa dirasakan pada latar belakang dan pencahayaan yang digunakan,” kata salah satu pengunjung.
Pengunjung atau penonton harus meninggalkan Kapal Selam setelah 90 menit mereka mengunjungi Penghuni Kapal Selam, dan kapal selam itu pun sudah hancur, para penghuni telah mati, kecuali Abdul Ghofar.