Seminar Nasional Pajak bertema “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang. Foto: dok IWPI

RINCIH.COM.Jakarta. Putusan Mahkamah Agung (MA) No. 1633/B/PK/Pjk/2024 yang membenarkan hasil pemeriksaan pajak meskipun telah melewati batas waktu yang diatur dalam peraturan perundang-undangan, menuai sorotan tajam dari kalangan pakar hukum pajak. Salah satu kritik keras datang dari Richard Burton, pendiri Iustitia Pro Tax Law Firm dan tokoh senior di Perkumpulan Pengacara & Praktisi Hukum Pajak Indonesia (P3HPI).

Burton menegaskan, putusan MA tersebut berpotensi menciderai prinsip-prinsip dasar negara hukum dan mengancam perlindungan hak wajib pajak.

“MA telah keliru dalam menilai hukum acara pemeriksaan pajak. Mereka menyamakan daluwarsa pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UU KUP dengan daluwarsa penetapan di Pasal 13, padahal keduanya memiliki dimensi hukum dan prosedur yang berbeda,” jelas Burton, dalam Seminar Nasional Pajak bertema “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan SKP Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang”, yang diselenggarakan oleh P5I (Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia) dan didukung oleh sponsor utama IWPI (Ikatan Wajib Pajak Indonesia), Selasa (27/5/2025).

Burton menambahkan, keputusan ini berpotensi menghilangkan perlindungan prosedural bagi wajib pajak. Burton menekankan, batas waktu pemeriksaan bukan sekadar ketentuan administratif, tetapi bagian dari prinsip due process of law yang mengatur batas kewenangan fiskus.

“Ketika pemeriksa pajak bisa bekerja tanpa batas waktu, ini bukan hanya soal pelanggaran administratif. Ini pelanggaran terhadap hak warga negara atas keadilan prosedural dan fair trial,” tambahnya.

Burton mengutip Pasal 17 ayat (2) dan Pasal 19 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan (UU AP) untuk memperkuat argumennya. Burton menegaskan, tindakan melampaui wewenang atau bertindak sewenang-wenang oleh aparat negara adalah bentuk penyalahgunaan kekuasaan yang berdampak pada ketidakabsahan keputusan administrasi, termasuk Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang diterbitkan.

Empat poin utama kritik Burton terhadap Putusan MA 1633/B/PK/Pjk/2024:

  1. MA gagal membedakan antara hukum acara pemeriksaan dan penetapan pajak.
  2. MA menyamakan daluwarsa pemeriksaan dengan penetapan, yang secara hukum berbeda.
  3. Putusan ini membuka peluang ketidakadilan terhadap wajib pajak karena memberi kewenangan tanpa batas kepada fiskus.
  4. Perlu koreksi terhadap putusan untuk menjamin keadilan dan kepastian hukum di masa mendatang.

Selain Burton, seminar ini juga dihadiri sejumlah tokoh terkemuka lain seperti Prof. Dr. Gilbert Rely (PERKOPPI), Dr. Alessandro Rey (P5I), dan Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika.

Yeka menyoroti bahwa praktik pemeriksaan pajak yang melampaui tenggat waktu jelas merupakan bentuk maladministrasi, dan pelayanan publik di sektor perpajakan rawan penyalahgunaan wewenang.

Sementara itu, Ketua Umum IWPI, Rinto Setiyawan, menyuarakan kekhawatirannya atas preseden buruk yang dapat timbul dari pembiaran atas pelanggaran ini.

“Ketika DJP menyatakan SKP tidak bisa dibatalkan walau melewati batas waktu pemeriksaan, itu sama saja dengan mengatakan DJP boleh melanggar Undang-Undang dan PMK yang jelas-jelas mengatur hal itu. Ini preseden buruk dalam penegakan hukum perpajakan,” tegas Rinto.

Menurut Rinto, seminar ini menjadi momen penting untuk mengedukasi wajib pajak agar memahami hak dan kewajibannya, serta menyoroti perlunya pembaruan pendekatan hukum perpajakan yang lebih adil dan akuntabel.

Dengan dihadiri lebih dari 120 peserta dari berbagai kalangan, seminar ini menjadi panggung perdebatan kritis tentang masa depan sistem perpajakan Indonesia yang menjunjung tinggi prinsip Rechtsstaat, bukan sekadar Taxstaat yang berorientasi pada penerimaan belaka. (rc)

By Septiadi

Adalah seorang penulis, dengan pengalaman sebagai wartawan di beberapa Media Nasional.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *