RINCIH.COM. Survei Statista baru-baru ini (April 2024-Maret 2025) mengungkapkan tren yang mencolok: sebagian besar konsumen di seluruh dunia-terutama wanita-mengaku membeli pakaian yang tidak pernah mereka kenakan.
Inggris memimpin, dengan hampir 30% wanita dan 17% pria mengakui perilaku ini. Tapi apakah ini benar-benar baru? Manusia telah mengumpulkan lebih dari yang diperlukan sejak kita berhenti menjadi pengembara. Dari menimbun makanan hingga menimbun barang-barang material, konsumsi berlebihan tertanam kuat dalam jiwa kita.
“Pakaian-yang dulunya murni fungsional-telah berkembang menjadi simbol identitas, status, dan emosi,” ungkap Statista.
Lebih lanjut, Statista melaporkan, Industri mode menyumbang sekitar 10% dari emisi karbon global dan merupakan salah satu pendorong terbesar polusi air dan limbah tekstil. Pakaian yang tidak pernah dipakai masih menghabiskan bahan mentah, tenaga kerja, energi-dan sering berakhir di tempat pembuangan sampah atau insinerator.
Bisakah fashion mewah kurang berbahaya Malte Karstan, Retail Expert menjelaslan, harga jual rata-rata (ASP) yang lebih tinggi berarti perputaran produk yang lebih lambat dan potensi penjualan kembali yang lebih kuat. Dan penjualan kembali memang booming.
Platform seperti The RealReal, Vinted dan lainnya melaporkan rekor pertumbuhan, dengan kemewahan bekas sering melampaui penjualan barang baru. Jika barang-barang mewah tetap beredar lebih lama, pergeseran ini bisa menjadi pengungkit nyata menuju keberlanjutan-tetapi hanya jika disertai dengan penurunan produksi dan konsumsi baru.
Peningkatan pesat platform produsen-ke-konsumen (M2C) dari Asia membanjiri pasar global dengan barang-barang dengan harga sangat rendah. Mode langsung ke pintu dengan harga yang dulunya tak terbayangkan sekarang menjadi norma bagi jutaan orang. Ini secara besar-besaran mempercepat siklus konsumsi-beli, pakai sekali (jika ada), ulangi.