RINCIH.COM. Agregator merupakan istilah perwakilan sekaligus patner yang memiliki tugas dan tanggung jawab menerima, menyimpan dan mempromosikan produk yang dikirimkan. Jadi agregator tersebut berasal dari negara yang dikirimkan produk. Dan mereka memiliki gudang.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Roy Nicholas Mandey menjelaskan, berbicara agar UMKM go ekspor, harus ditentukan dahulu siapa agregatornya? Siapa perwakilan patner UMKM.
“Kita tidak mudah mengatakan ekspor dengan jalan pameran, tapi setelah pameran, produk pameran dibawa kembali pulang. Jadi itu bukan ekspor namanya,” ungkap Roy kepada rincih.com, di Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Roy menambahkan, peran agregator sangat penting di luar negeri, namun tidak menafikan keberadaan agregator di dalam negeri berkaitan dengan produk-produk UMKM maupun private lable.
“Banker atau perbankan harus menjadi agregator, minimal Corporate Social Responsibility (CSR). Itu harus dikelola sebagai agregator dalam negeri. Masalah produk UMKM atau private lable untuk dikirim ke luar negeri, bukan hanya kualitas, standardisasi atau perizinan, tapi akses permodalan,” jelasnya.
Lebih lanjut Roy mengarakan, ketika ada hilirisasi dana CSR atau dana hibah dari BUMN atau perusahaan swasta, maka serta merta UMKM akan kuat.
Selian agrehator luar dan dalam negeri, yang menjadi perhatian adalah semua perwakilan Indonesian di luar negeri misalkan KBRI dan Indonedia Trade Promotion Centre (ITPC) yang tersebar di 20 negara. KPI mereka harus menjadi sales dan marketing produk-produk Indonesia agar UMKM dapat bergerak.
“Agregator itu harus dicari. Maka KBRI dan ITPC harus mencari agregator di luar negeri. 60 persen tugas mereka harus mencari agregator, 40 persennya bisa ceremony,” katanya.
Roy menegaskan, penentuan Agregator harus melalui mekanisme formal dan berlisensi sehingga bisa dipertanggungjawabkan. Jika agregator dalam dan luar negeri sudah didapatkan, maka UMKM bisa go ekspor.
Roy menambahkan, mumpung ada Kementerian UMKM, maka selekasnya melakukan sensus UMKM. Kabarnya data UMKM Indonesia sebanyak 56 juta, dan setiap tahun mengalami kenaikan 2 hingga 3 persen.
“Apakah sekadar angka? Dimana alamat mereka? Kalah hanya angka indikator, buka angka akurasi, serta tidak pernah sensus UMKM di Indonesis, maka UMKM hanya euforia,” ungkap Roy.
Roy menganjurkan untuk mendirikan bank khusus UMKM. Menurutnya, UMKM tidak bisa hidup hanya dengam dana pinjaman KUR dengan bunga 4 hingga 6 persen. “Bunga untuk UMKM semestinya 0,1 hingga 0,2 persen, sebagai komitmen mereka. Bunga pinjaman untuk UMKM harus di bawah 1 persen,” katanya.
Dana Bank UMKM bisa diambil dari dana hibah, CSR, bukan dari bunga deposito, sehingga bunganya tidak tinggi.