RINCIH.COM. Polemik pemeriksaan pajak melewati batas waktu oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) sedang marak di kalangan wajib pajak (WP). WP mempertanyakan apakah surat ketetapan pajak (SPT) mereka batal atau tidak, akibat DJP telah melewati masa pemeriksaannya.
Sementara pihak DJP menegaskan, jangka waktu peneriksaan yang diatur dalam UU KUP dan PMK bukan merupakan ketentuan yang berakibat hukum, melainkan alat untuk mengukur efisiensi dan efektivitas kerja pegawai DJP. Indikator kinerja internal dalam penyelesaian tugas pemeriksaan. Dan merupakan mekanisme evaluasi dan penilaian kinerja organisasi yang tidak berakibat pembatalan. Pelanggaran batas waktu pemeriksaan tidak mengakibatkan ormbatalan atau kebatalan SKP yang diterbitkan. Prioritas substansi DJP mengutamakan temuan substantif dalam pemeriksaan dibandingkan aspek prosedural waktu.
Pimpinan Ombudsman Republik Indonesia (Ombudsman RI) Yeka Hendra Fatika, menegaskan, DJP telah melakukan maladministrasi karena telah melewati batas pemeriksaan pajak kepada WP. Meski pihak DJP mengatakan
“Kalau melewati batas waktu, itu maladministrasi,” tegas Yeka, pada saat Seminar Pajak : “Pemeriksaan Pajak Lewat Batas Waktu Tidak Membatalkan Surat Ketetapan Pajak Meskipun Merupakan Amanat Undang-Undang” di Jakarta, Selasa (27/5/2025).
Pada kesempatan yang sama, Ketua Perkumpulan Profesi Pengacara dan Praktisi Pajak Indonesia (P5I) Alessandro Rey menegaskan, DJP telah menerapkan mazhab taxstaat.
Taxstaat merupakan konsep yang berkembang dalam kajian hukum dan politik fiskal modern yang menggambarkan suatu negara yang berorientasi kuat pada penerimaan pajak sebagai sumber utama pembiayaan negara. Istilah ini muncul sebagai kritik terhadap negara yang terlalu fokus pada target penerimaan pajak tanpa memperhatikan prinsip keadilan, kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak warga negara.
Rey menilai pernyataan resmi DJP mengenai pemeriksaan yang melewati batas waktu, sangat berbahaya dan harus diluruskan. Rey menjelaskan beberapa hal yang harus diluruskan. Pertama: masalah KPI pegawai DJP sudah diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.300 tahun 2023 tentang manajemen kinerja di lingkungan Kementerian Keuangan.
“UU bukan untuk mengukur kinerja DJP,” ungkapnya.
Kedua, pemeriksaan melewati batas hukum tidak perlubdigugat. “Hal ini sangat berbahaya karena dapat memandulkan UU Ham, karena WP tidak bisa menggugat. Padahal, mengajukan gugatan termasuk HAM,” tegas Rey.
Ketiga, jangka waktu pemeriksaan berbeda dengan jangka waktu penerbitan. Keempat, DJP tidak cermat membaca perundang-undangan. Kelima, DJP membahas alat monitoring, namun tidak transparansi terkait monitoring tersebut.
“Lima point tersebut tidak sesuai dengan rechtsstaat. Negara Indonesia adalah negara hukum,” tegas Rey.
Konsekuensi Hukum
Upaya pemeriksaan pajak oleh DJP yang melewati masa waktunya memiliki dampak hukum. Undang-Undang No.30 Tahun 2024 tentang Administrasi Pemerintahan mengamanahkan pejabat pemerintah dalam menggunakan wewenangnya mengacu pada asas-asas umum pemerintah yang baik dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mana dalam hal ini DJP termasuk dalam pejabat pemerintah (Pasal 1 angka 3 UU AP).
Berdasarkan Pasal 17 ayat (2) huruf a dan c UU AP menyebutkan larangan penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi larangan melampaui wewenang, larangan mencampuradukkan wewenang dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang.
Prosedur yang salah atau tidak sesuai merupakan suatu keputusan yang tidak sesuai dengan syarat sah. Hal tersebut diatur sebagaimana dalam pasal 52 ayat (1) dan penjelasan pasal 71 ayat (1) huruf a.
Akibat hukum penyalahgunaan wewenang menurut Pasal 66 ayat (1) huruf a dan b UU PA “Keputusan hanya dapat dibatalkan apabila terdapat cacat wewenang, prosedur dan/atau substansi.
“Kehadiran P5I untuk meluruskan,” tegasnya. (Septiadi)